11 September 2008

Renungan Harian 11 September 2008

Kamis, 11 September2008

  • Bacaan I : 1Kor 8:1b-7.11-13
  • Bacaan Injil : Luk 6:27-38

Renungan

Ada tiga perbuatan yang berulang: mengasihi musuh, berbuat baik, dan berilah. Dengan mengasihi musuh maka tidak ada balas dendam. Tindakan tanpa kekerasan memutus lingkaran kekerasan, sehingga pertikaian berhenti. Tindakan tanpa kekerasan bukanlah sikap pasif atau menerima; sebaliknya itu adalah sikap aktif dan proaktif. Kita diajak untuk berbuat baik dengan memberi dan mendoakan sesama kita, terlebih mereka yang berbuat jahat kepada kita. Hal ini tentu sulit. Tetapi, inilah permintaan Yesus kepada para pengikut-Nya: "Hendaklah kamu murah hati sama seperti Bapamu adalah murah hati"(Luk 6:36)

Tuhan, ajarilah aku bersikap murah hati, seperti Engkau murah hati. Amin.

[Ziarah Batin 2008, Renungan dan Catatan Harian]

Menjadi Perempuan, Kristen, dan Profetis saling terkait

Pakistan (UCAN) -- Kaum perempuan Kristen mengalami marginalisasi ganda di Pakistan, karena mereka itu perempuan dan karena mereka adalah anggota kelompok agama minoritas, kata Suster Zakai Jamal.

wanita pakistan Satu aspek marjinalisasi ini adalah kekerasan dan diskriminasi yang dihadapi kaum perempuan Kristen, yang diperlihatkan dengan sikap intoleransi terhadap keterbukaan dan nilai-nilai modern, kata suster itu, dari Kongregasi Suster-Suster Cinta Kasih Yesus dan Maria (KYM). Sikap masyarakat yang diperlihatkan itu merupakan bagian dari "Talibanisasi" masyarakat Pakistan, katanya.

Lebih dari 95 persen dari 160 penduduk Pakistan adalah Muslim, sementara umat Kristiani berjumlah kurang dari 1 persen.

Suster Jamal, 50, telah mengajar selama 28 tahun di sekolah-sekolah Katolik seluruh negeri itu. Ia juga berperan sebagai koordinator kaum muda di Keuskupan Agung Lahore dan Keuskupan Faisalabad selama 25 tahun.

Berikut ini adalah komentarnya untuk UCA News:

Setelah pengumuman tahunan kelulusan siswa, saya pergi mengunjungi gadis-gadis kecil kelas dua untuk menyampaikan selamat kepada mereka atas keberhasilan mereka dalam ujian tahunan itu. Namun, saya merasa bahwa mereka tidak memancarkan kebahagiaan yang spontan seperti biasanya.

Sebelum saya mengatakan sesuatu, mereka menunjuk ke seorang gadis yang cukup baik kepribadiannya. Mata gadis itu menunjukkan rasa gelisah dan takut. "Seseorang telah membunuh saudarinya yang lebih tua. ... Kami tidak tahu siapa yang melakukan itu," kata seorang gadis. Saya bingung. Sebelum saya berbicara, seorang gadis lain mengatakan, "Suster, Anda tahu, sejumlah pencuri datang ke rumah kami di hari lain. Mereka menembak nenek kami. Ia meninggal. Seorang lain tak sabar menunggu dan menambahkan: "Suster, suster, seseorang menyiram air keras ke saudara ipar perempuanku. Ia kini dirawat di rumah sakit.

Kami semua hening untuk sementara, sambil menyelami ketidakberdayaan kami. Saya berdoa dengan mereka kepada Maria Bunda Kerahiman Ilahi untuk melindungi mereka dan keluarganya. Saya memberi mereka sejumlah nasehat praktis tentang bagaimana berhati-hati ketika berada di dalam maupun di luar rumah, bagaimana senantiasa sadar akan kehadiran Allah.

Ketika kembali ke biara, saya berpikir tentang saudariku yang paling tua, ibu dari lima putra, yang tinggal di Faisalabad. Ibu mertuanya dan tujuh saudara laki-laki dari suaminya, seorang pastor, tinggal di sebuah kota kecil terdekat. Satu dari saudara iparnya membuat seorang tuan tanah Muslim marah, karena dia jatuh cinta dengan putri tuan tanah itu. Sebagai balas dendam, tuan tanah itu berjanji membunuh seluruh keluarga. Satu-satunya cara untuk bisa selamat dari keadaan itu adalah masuk agama Islam dan hidup sebagai seorang Muslim. Karena tidak ada jalan keluar, maka keluarganya terpaksa menerima hal itu. Saudariku adalah satu-satunya perempuan yang tidak setuju akan hal itu. Secara terbuka dia mewartakan imannya akan Tuhan yang Bangkit. Negosiasi berlanjut beberapa kali, namun saudari saya tetap menolak menerima Islam. Dia akhirnya diracuni. Di saat terakhir, saudari saya mengucapkan imannya kepada Yesus yang dicintainya. Wajahnya sangat tenang ketika ia meninggal.

Menjadi perempuan, Kristen, dan profetis itu merupakan realitas-realitas yang saling berkaitan di sini. Menjadi perempuan, Kristen, atau profetis, konsekuensinya sama.

Youhanabad adalah basis umat Kristen di daerah pinggiran Lahore yang kebanyakan perempuan bekerja di pabrik-pabrik dan di rumah-rumah kaum Muslim yang kaya. Tentu saja mereka mendapat gaji yang minim, namun mereka juga sering diganggu, tidak merasa aman, dan mendapat perlakuan buruk. Kebanyakkan kasus ini tidak pernah dilaporkan.

Sering para remaja putri hilang atau diculik, diperkosa atau dibunuh di tempat ini. Kasus lain, air keras disiram ke wajah mereka. Tingkat penderitaan paling tinggi meskipun mereka bekerja keras adalah bahwa mereka memperoleh sangat sedikit untuk keamanan dan makanan bagi anak-anak mereka. Kenaikan harga kebutuhan pokok setiap hari -- tepung, beras, gula, susu - menjadi beban berat yang menganggu pikiran mereka. Meski tampaknya sehat dari luar, namun karena kurang gizi dan bekerja keras, mereka menjadi korban penyakit TBC, tifus, kudis, dan hepatitis.

Di antara berbagai kategori perempuan, religius wanita memiliki lebih banyak ruang untuk bernafas dan mendapat penghargaan dalam masyarakat. Yang sangat mempengaruhi para suster adalah penolakan Islam terhadap kaul kemurnian mereka. Menurut tradisi Islam, hal itu tidak dapat diterima karena itu bertentangan dengan rencana Tuhan bagi manusia.

Ancaman lain adalah Talibanisasi masyarakat yang sedang bertumbuh. Pikiran masyarakat sederhana yang baik dipengaruhi oleh kelompok-kelompok teroris. Bagi mereka, perempuan bukan manusia, hanyalah hal-hal kebutuhan harian untuk disembunyikan di kamar. Gerakan Taliban, antara lain, merusak semua yang mempromosikan kehidupan, cinta, keindahan, di kalangan bangsa. Sekitar 125 sekolah dibakar dan dibom oleh kaum militan beberapa tahun terakhir ini di distrik Swat dan Dir yang bergejolak, di Propinsi North West Frontier. Beberapa ditempati oleh para militan dan sejumlah lain oleh pasukan keamanan. Pemboman sekolah-sekolah putri dan surat-surat ancaman yang dikirim kepada mereka membuat para guru dan pelajar putri ketakutan sehingga jumlah murid berkurang 50 persen.

Di tengah situasi yang keras seperti itulah, kami wanita religius menunjukkan makna kehadiran kami yang lebih mendalam. Melawan skenario sosial politik kompleks dan terus berubah itu, kami terus menemukan kekuatan iman, makna karya amal kita, sinar pengharapan, serta kedalaman visi dan misi kami. Ini, karena kami percaya akan apa yang Yesus katakan: "Tanpa Aku kamu tidak bisa berbuat apa-apa ... namun bersama Aku semuanya mungkin."

Di sekolah, asrama, pekerjaan paroki, dan kunjungan-kunjungan keluarga, kami bertemu sesama perempuan,. Kami mendorong, membimbing, dan memberikan pencerahan kepada mereka. Kami berbagi dengan mereka karunia iman kami dalam kuasa kepenuhan dan belas kasih Allah. Kami berbagi visi keberlimpahan kami kepada mereka. Melalui pendidikan kami dan berbagai sarana pengajaran dan katekese, kami meningkatkan kemampuan mereka untuk belajar, memperoleh keyakinan dalam hidup. Dengan memberi keterampilan dan pengetahuan kepada mereka, kami membuat mereka mampu dan berdaya untuk menemukan tempat mereka yang tepat dalam masyarakat Pakistan. Hari berganti hari, kami menemukan keberhasilan dan kegagalan.

Seperti para nabi yang membiarkan Allah bertindak di dalam dan melalui kami, kami harus mendengarkan dan mengungkapkan Sabda yang diberikan Allah kepada kami. Dengan menjadi orang Gereja, kami harus terus berusaha untuk memenuhi peran kami untuk menjadi nabi di Pakistan. Dalam menghadapi tekanan agama yang keras dan terselubung, kami harus terus menemukan lebih banyak cara untuk "melakukan apapun yang Allah katakan kepada Anda."

Dari : www.ucanews.com - www.mirifica.net

Perkemahan Mendorong Kaum Muda Memahami Iman Lebih baik

Kyrgyzstan (UCAN) -- Orang muda Katolik mendapat kesempatan untuk mengenal satu sama lain dan membicarakan isu-isu yang relevan dengan mereka dalam sebuah perkemahan yang diselenggarakan Gereja di pinggir sebuah danau.

Peristiwa itu diikuti oleh 25 orang muda Katolik dari Kyrgyzstan, 12 dari Uzbekistan, dan empat pelajar bersama guru mereka dari Polandia. Acara itu berlangsung di tepi Issyk Kul, sebuah danau pegunungan yang berjarak 300 kilometer timur Bishkek.

Tiga imam asal Polandia, seorang bruder, dan seorang suster mendampingi anak-anak muda itu.
Dalam sambutan pembukaannya, Administrator Apostolik Kyrgyzstan Mgr Nikolaus Messmer SJ mengatakan kepada para peserta bahwa dia berharap perkemahan musim panas kelima ini akan "meneguhkan iman kalian dan membantu kalian untuk saling bersahabat."

Peserta yang berusia sekitar 15 sampai 26 tahun itu didorong untuk membahas cinta, seks, dan persahabatan dari sudut pandang iman Katolik.

Setiap hari mereka menghadiri Misa, kemudian berdiskusi dan mengajukan berbagai pertanyaan. Bagi yang terlalu takut mengajukan pertanyaan menyangkut topik-topik yang sensitif seperti seks, mereka menulisnya di sebuah kertas dan memasukkan kertas itu ke dalam kotak untuk dibaca kemudian.

Satu pertanyaan adalah apa yang harus dilakukan seorang gadis jika pacarnya yang non-Katolik tidak mau menikah di gereja dan menolak mengikuti aturan-aturan Gereja. Jawabannya adalah bahwa dia harus mempertahankan imannya dan memutuskan hubungan itu.

Suster Bogomila Gajdosova, seorang biarawati Fransiskanes dari Bishkek, mengatakan kepada UCA News, tujuan perkemahan itu bukan saja untuk membantu kaum muda Katolik memahami ajaran Gereja tentang hubungan dan perkawinan, tetapi juga untuk membantu kaum muda Kyrgyz memahami dengan lebih baik komunitas Gereja mereka yang kecil dan yang berkembang perlahan-lahan.

Para pejabat Gereja lokal memperkirakan ada sekitar 500 umat Katolik yang aktif di tiga paroki di Kyrgyzstan: Bishkek; Talas, 195 kilometer barat ibukota negara; dan Dzalal-Abad, 250 kilometer barat daya Bishkek. Beberapa hidup dalam komunitas-komunitas yang jauh dari pusat-pusat paroki, dan para imam mengunjungi mereka sesewaktu. lima imam Yesuit dan dua imam diosesan, serta lima suster Fransiskan membantu di tiga paroki itu.

Kebanyakan umat Katolik adalah anak-anak atau cucu-cucu dari komunitas etnis Jerman dan Polandia dan kelompok-kelompok etnis lainnya dari luar wilayah itu, yang dideportasi oleh pemimpin komunis Joseph Stalin ke Asia Tengah tahun 1930-an dan 1940-an.

Pastor Peter Kawa OFM Conv. asal Polandia dari Uzbekistan mengatakan bahwa perkemahan itu menarik kaum muda dari pengaruh sekular dalam lingkungan harian mereka. Lingkungan mereka setiap hari "dipenuhi dengan pengertian kacau tentang seks, cinta, dan persahabatan." Dia prihatin atas hubungan seks pranikah.
Menurut imam itu, perkemahan itu juga membawa Sabda Allah kepada kaum muda dalam bentuk nyata.

Jadwal harian perkemahan itu meliputi Misa, pertemuan, diskusi kelompok, makan bergantian secara kelompok, dan kegiatan santai, dan kadang-kadang dilakukan di pinggir danau.

Lubov Shevchenko, 23, salah satu peserta yang berbicara dengan UCA News, mengatakan bahwa dia senang dengan diskusi karena temanya tentang cinta, seks, dan persahabatan itu penting bagi kebanyakan kaum muda yang siap untuk menikah dan berkeluarga.

"Saya gembira bisa mendapat kesempatan untuk menghadiri Misa setiap hari," kata gadis itu. Shevchenko hidup di sebuah desa kecil sekitar 30 kilometer dari Bishkek, yang katanya hanya dikunjungi imam dari ibukota dua kali sebulan.

Komunitas kecil mereka hanya memiliki 15 umat Katolik yang bertemu di rumah pribadi. Tempatnya berpindah-pindah beberapa kali karena orang menjual rumah dan pergi ke Rusia atau Eropa, katanya.

Perkemahan ini bukan yang pertama kali bagi Anastasia Kuleshova, 17, yang tinggal dekat Gereja Malaekat Agung Santo Mikhael di Bishkek, namun dia mengatakan bahwa perkemahan kali ini membantunya melihat banyak hal dari sudut pandang yang baru.

Mahasiswi Olga Nowakowska keturunan Polandia senang dengan semangat tim. Dia "suka kegiatan dalam kelompok dan pekerjaan di dapur, karena kegiatan-kegiatan seperti itu mempersatukan orang."
Sonya Naapetyan dari Tashkent sangat senang dengan doa hening. "Ketika matahari terbenam, kami semua pergi ke pinggir danau, duduk terpisah satu sama lain untuk berdoa dan menikmati alam," katanya.

Kyrgyzstan memperoleh kemerdekaan setelah hancurnya Uni Soviet tahun 1991. Sejak tahun itu, Gereja di negara itu menjadi bagian dari Administrasi Apostolik Asia Tengah, yang berpusat di Karaganda, Kazakhstan. Tahun 1997, Paus Yohanes Paulus II membentuk misi "sui iuris" (mandiri) di Kyrgyzstan, dengan mempercayakan pelayanan pastoral kepada para Yesuit.
Tahun 2006, Paus Benediktus XVI menjadikannya Administrasi Apostolik Kyrgyzstan dan mengangkat Uskup Messmer sebagai administratornya.

END

3 September 2008 www.ucanews.com

Umat Katolik didesak akhiri kasta dalam Gereja

India (UCAN) -- Para uskup di Negara bagian Tamil Nadu, India bagian selatan, mendesak umat Katolik untuk menghilangkan ketimpangan karena kasta sehingga bisa menolong umat dari kasta rendah dan bekas orang-orang yang termasuk dalam kelompok untouchable (emoh disentuh) dapat terlibat sepenuhnya dalam kehidupan Gereja.

"Segenap umat Kristen bertanggungjawab untuk melenyapkan perbedaan karena kasta dan keenggangan untuk menyentuh kelompok untouchable. Umat Kristen juga bertanggungjawab untuk menciptakan sebuah Gereja yang setara," demikian para uskup dalam sebuah pernyataan.

Pernyataan para uskup Katolik itu dibacakan di paroki-paroki di semua 19 keuskupan di negara bagian itu pada 17 Agustus. Dalam pernyataan itu diakui bahwa masyarakat India telah terbentuk pada sebuah sistem dengan empat kasta utama. Yang tidak termasuk dalam kasta-kasta itu pernah dianggap sebagai "outcastes" (orang luar) atau "untouchables" (orang yang dijauhi atau emoh disentuh masyarakat) yang umumnya disebut kelompok dalit, istilah bahasa Sansekerta yang berarti "yang membuat orang tersandung."

Dalam pernyataan, para uskup menyesali bahwa masyarakat, termasuk umat Katolik, terus mempraktekkan untouchability (keemohan disentuh) dalam berbagai tingkat dan bentuk.

"Simbol-simbol dari untouchability" dalam Gereja di Tamil Nadu yang ingin dilenyapkan oleh para uskup, antara lain, tempat duduk dalam gereja yang diatur berdasarkan kasta, tidak mengijinkan anak-anak dalit melayani dalam Misa, dan tidak membolehkan prosesi-prosesi festival paroki melewati tempat-tempat warga dalit. Para uskup juga ingin mengakhiri lahan pemakaman yang terpisah dan kereta jenazah yang juga terpisah. Pemakaman yang baru hendaknya terbuka untuk semua, tegas para uskup.

Mereka juga ingin agar umat Katolik warga dalit terlibat dalam kehidupan paroki dan lembaga-lembaga Gereja. Untuk mencapai hal ini, demikian pernyataan itu, warga dalit hendaknya didorong ambil bagian dan memimpin dalam dewan paroki dan organisasi-organisasi lainnya dalam Gereja. Para uskup lewat pernyataan itu juga meminta kongregasi-kongregasi religius dan keuskupan-keuskupan untuk mendorong munculnya panggilan dalam kelompok-kelompok warga dalit.

Para uskup menjelaskan bahwa orang India, sekalipun mereka telah berganti agama, tetap saja mempertahankan identitas kasta dan simbol-simbol atau pakaian tertentu, dan hal ini tidak terkecuali dalam kelompok orang Kristen. Tetapi mereka juga menunjukkan bahwa Konstitusi India melarang adanya untouchability dan diskriminasi kasta.

Pernyataan itu mendesak para uskup, imam, religius, dan umat awam untuk bekerja sama mengakhiri diskriminasi kasta. Para uskup menganggap bahwa diskriminasi kasta yang dilakukan para imam dan religius sebagai "dosa besar," karena hal itu "bertentangan dengan kesaksian hidup Kristen."

Ketua dewan yaitu Uskup Agung Madurai Mgr Peter Fernando mengatakan kepada UCA News pada 20 Agustus bahwa pernyataan itu merupakan hasil diskusi dewan mengenai isu-isu kasta dalam pertemuan tahunan mereka pada 24-27 Juni.

Para uskup "memprioritaskan penghapusan" diskriminasi kasta, katanya, sambil menambahkan bahwa keprihatinan semakin meningkat setelah umat Katolik di sebuah paroki di Keuskupan Agung Pondicherry-Cuddalore bertikai karena perbedaan kasta.

Dua umat kasta rendah tewas pada 9 Maret ketika polisi melepaskan tembakan untuk mencegah terjadinya kekerasan yang lebih besar antara umat kelompok itu dengan umat warga dalit.
Pernyataan para uskup menggarisbawahi diskriminasi kasta dalam Gereja yang sudah ditentang oleh Konferensi Waligereja India. Pernyataan itu mengulangi permintaan Paus Yohanes Paulus II kepada para uskup dari Tamil Nadu ketika mereka mengadakan kunjungan ad limina tahun 2003. Paus meminta agar diskriminasi kasta, yang disebut sebagai "ancaman terhadap spiritualitas yang sejati," dilenyapkan dari Gereja.

Tahun 2004, para uskup, imam, religius, awam, dan berbagai organisasi hak asasi manusia di Tamil Nadu secara bersama mengadakan sebuah rencana aksi 10 poin untuk pegembangan kelompok dalit dan umat Kristen warga suku. Poin pertama rencana, demikan diungkapkan kembali dalam pernyataan itu, adalah melenyapkan diskriminasi kasta.

http://www.ucanews.com/

09 September 2008

Doa dan Nyanyian dari Taize

Taize



Sekilas Taize

Taize adalah sebuah desa pertanian sederhana di Perancis Selatan.
Pada tahun 1940, ketika Eropa dilanda perang dunia II, Roger seorang mahasiswa teologi Protestan di Swiss yang berusia 25 tahun tiba di desa Taize. Ia sendiri adalah anak seorang Pendeta Protestan Swiss. Ia terkejut melihat penderitaan dan kebencian merajalela di Eropa akibat perang. Dalam kondisi yang berkecamuk itu, pergilah Roger ke Perancis. Sesampainya di desa kecil Taize, ia membeli rumah kosong yang sudah rusak. Ia tinggal di situ dan membuka rumahnya bagi pengungsi perang serta tempat perlindungan bagi orang Yahudi yang dikejar Nazi. Di rumah itu, ia mengajak orang-orang di sana untuk beribadah secara hening. Ia rindu untuk menghadirkan komunitas persaudaraan (brotherhood) bersuasana Ucapan Bahagia Yesus, yaitu : sukacita, kesederhanaan, dan kemurahan hati (simplicity, mercy, and joy).

Dua tahun setelah Roger bekerja sendiri, bergabunglah beberapa kawannya. Ketika perang telah selesai, Roger dan kawan-kawannya bertekad meneruskan pelayanan ini sebagai suatu perumpamaan tentang persaudaraan; sebagaimana yang dikehendaki Yesus. Begitulah pada hari Paskah tahun 1949, Roger dan enam kawannya membuat komitmen dihadapan Tuhan untuk menyerahkan sepenuh waktu dan hidup mereka bagi pekerjaan Tuhan tersebut dengan jalan hidup membujang dan sederhana. Dengan begitu, lahirlah Communaute de Taize atau komunitas Taize.

Komunitas Taizé pada awalnya merupakan komunitas para biarawan Kristen yang didirikan atas dasar cinta kasih dan persaudaraan eukumenis, tanpa memandang latarbelakang anggotanya. Inspirasi ini muncul setelah Perang Dunia II yang mengerikan, di mana bangsa-bangsa Eropa terpecah belah, termasuk perpecahan hebat dalam agama Kristen sendiri (Katolik, Protestan, Ortodoks, Anglikan dan sebagainya).
Dari keprihatinan itu, Bruder Roger Louis Schutz bersama para biarawan di Taizé saat itu, menjalankan pola hidup persaudaraan intensif seperti dikatakan Santo Paulus dalam surat kepada umat Efesus, yaitu selalu sabar, lemah lembut, rendah hati, saling membantu dan damai (bdk.Ef.4:2-3) dalam hidup sehari-hari mereka.
Pola hidup ini dikomunikasikan dengan setiap orang yang datang berkunjung. Makin lama makin banyak peziarah yang datang dan memperoleh persaudaraan, persahabatan serta perhatian tulus dari para biarawan Taizé. "Kami menyambut mereka, mengatur tempat untuk mereka tinggal, menemani, mendengarkan orang yang ingin berbagi suka duka. Namun metode ini bukanlah semacam bimbingan konseling," demikian Bruder Jean-Marie, salah satu biarawan komunitas Taizé.
Demikianlah sampai saat ini, sepanjang tahun ribuan peziarah dari seluruh dunia datang ke Taizé untuk beristirahat, merenung, berdoa, bernyanyi, bahkan bekerja, bersama para biarawan dan penduduk sekitar. Di sana mereka keluar sejenak dari hidup sehari-harinya, dan mereka saling membagi perhatian, persaudaraan, persahabatan serta cinta kasih dengan sesamanya.

Taize kini menjadi tempat Retreat/ Bible Camp; di mana ribuan anak muda datang dari seluruh dunia untuk mencari sesuatu yang berarti bagi hidup mereka. Melalui doa, refleksi, dan diskusi Alkitab, mereka ingin memperdalam kehidupan spiritualitas mereka dengan harapan agar dapat lebih baik lagi mengambil bagian dalam gereja asal mereka. Komunitas Taize tidak bermaksud untuk melahirkan sebuah aliran kekristenan yang baru, tetapi sebagai sebuah upaya memenuhi panggilan Kristus, yaitu mewujudkan rekonsiliasi (perdamaian) antara sesama pengikut Kristus. Doa dan harapan inilah yang diucapkan Tuhan Yesus di dalam Yohanes 17:21 : "... supaya mereka semua menjadi satu"

Doa Dan Suasana Ibadah Di Taize

Jantung kehidupan di Taize ialah doa. Sekalipun semua orang sedang sibuk dengan pekerjaan masing-masing, ketika lonceng ibadah berbunyi semua orang meninggalkan pekerjaannya dan masuk ke gedung gereja. Doa bersama diadakan tiga kali dalam sehari, yaitu : pagi, siang, dan malam. Pada doa pagi hari disertai dengan Perjamuan Kudus. Doa bersama inilah yang menjadi pusat kehidupan sehari-hari di Taize. Dalam ibadah doa tiga kali sehari tersebut, ada waktu hening/ tenang (silent prayer) selama ( 15 menit. Waktu doa hening ini dimaksudkan agar setiap orang dapat dengan tenang berdoa dan berdiam diri di hadapan Tuhan tanpa terganggu dengan suara orang-orang di sekitarnya. Doa hening ini mengajak kita meneduhkan diri dari begitu banyaknya suara dan kata-kata yang sepanjang hari kita dengar dan ucapkan.
Di dalam doa hening/ saat teduh ini; kita bukan hanya mencoba mengutarakan segala sesuatu kepada Tuhan, tetapi terutama memberikan kesempatan kepada Tuhan untuk berdoa bagi kita, berdoa di dalam diri kita, dan berdoa bersama kita.

Di dalam keheningan dan ketenangan, kita mencoba lebih peka untuk mendengar suara Tuhan dalam kehidupan kita. Kita dipanggil untuk merefleksikan ulang perjalanan kehidupan ini dan merenungkan kembali pemeliharaan dan kasih setia Tuhan selama masa-masa yang telah lalu dan mengkomitmenkan kembali masa selanjutnya ke dalam tangan Tuhan. Doa hening ini bukan sekedar intuisi atau khayalan, karena sebelum berdoa, terlebih dulu dinyanyikan Mazmur dan dibacakan ayat Alkitab.

Lagu-lagu Taize mempunyai ciri khas : satu atau beberapa kalimat yang mudah dimengerti (kesederhanaan kata-kata), diambil dari ayat Alkitab yang singkat (alkitabiah), diterjemahkan ke dalam banyak bahasa (internasionalitas) dan dinyanyikan berulang-ulang (meditatif). Lagu-lagu Taize dinyanyikan berulang-ulang sehingga kita semakin mengerti dan meresapi kedalaman lagu tersebut. Tentu saja, lagu-lagu yang kita nyanyikan tetap dalam taraf kesadaran kita (tidak trans/ kehilangan eksistensi diri). Hal ini dapat dimengerti seperti bila kita membaca Alkitab. Ketika kita membaca bagian Alkitab tertentu beberapa kali, kita akan menjadi semakin mengerti dan meresapi arti kedalaman Firman Tuhan bagi hidup kita tanpa membuat kita kehilangan eksistensi diri kita (trans). Semua hal di atas membuat ibadah di Taize sangat khas, sederhana, mudah diresapi, serta mengalir seperti aliran sungai. Ibadah terkesan sederhana namun sangat berisi dan bermakna tanpa segala macam bentuk formalitas. Ibadah Taize yang sederhana ini selaras dengan kehidupan di Taize yang juga sederhana.


Semangat Rekonsiliasi Dan Ekumenitas

Kita sering mendengar bahwa : "Gereja harus membuka pintu dan jendela. Panggilan gereja adalah : menjadi gereja bagi orang lain; menjadi sesama manusia bagi orang di sekitar kita." Bahkan, kita juga terus menggumuli bagaimana membangun "gereja tanpa tembok"; dengan beberapa seminar yang pernah diadakan, aksi sosial, dsb. Semangat rekonsiliasi dan ekumenitas ini pulalah yang sangat menonjol di Taize. Ratusan hingga ribuan orang/ anak muda yang datang setiap minggu ke Taize berasal dari berbagai negara, bahasa, maupun latar belakang gereja yang berbeda-beda. Namun, semua pengikut Kristus tersebut terpanggil untuk duduk bersama, bernyanyi bersama, dan berdoa bersama. Dalam pertemuan doa akbar Taize di Eropa (European Meeting) yang diadakan setiap tahunnya, Sekretaris Jendral PBB selalu memberikan kata sambutan tertulis sebagai respon positif terhadap orang-orang Kristen yang mencoba menghadirkan kedamaian dan kebersamaan di bumi ini. Kita adalah lilin-lilin kecil yang dipanggil Tuhan untuk menerangi dunia yang gelap dan penuh kebencian ini. Kristuslah sumber dari terang itu. Seperti sebuah lagu yang kita nyanyikan di tengah puing-puing gereja kita : "Yesus, terang-Mu pelita hatiku. Jangan gelap memerintah diriku. Yesus, terang-Mu pelita hatiku. Biar selalu kusambut cinta-Mu."

Renungan Harian

Renungan Harian 10 September 2008

09 September 2008 13:08

Rabu, 10 September 2008

  • Bacaan I : 1Kor 7:25-31
  • Bacaan Injil : Luk 6:20-26

Renungan

Siapa tidak ingin bahagia di dalam hidup ini? Setiap orang pasti ingin bahagia. Ada orang yang mengejar kebahagiaan dengan menumpuk harta, yang lain dengan mengejar kenikmatan, yang lain lagi ingin kedudukan yang tinggi. Yesus memiliki kriteria tersendiri mengenai siapa yang berbahagia dan siapa yang celaka.

Menurut Yesus, yang berbahagia ialah mereka yang miskin, lapar, menangis, dan dibenci karena Anak Manusia. Sementara yang celaka adalah yang kaya, yang kenyang, yang tertawa, yang dipuji-puji. Ukuran Yesus amat berbeda dengan ukuran kebahagiaan yang dikejar kebanyakan orang, bukan? Misalnya, Yesus mengatakan, "Berbahagialah mereka yang miskin." Itu tidak berarti bahwa para murid harus menjadi gelandangan, pengemis, menjual semua hartanya. Orang miskin disebut berbahagia karena Kerajaan Allah milik mereka. Dengan kedatangan Yesus berarti Kerajaan Allah sudah mulai terwujud di dunia ini. Yesus berpihak kepada orang miskin dan lemah.

Para murid Yesus diharapkan juga mau berbagi, solider dengan mereka yang miskin, lemah dan berdosa. Sebagaimana Yesus tinggal bersama orang miskin, menyembuhkan yang sakit, dan mengampuni yang berdosa, maka para murid pun diundang untuk menempatkan mereka sebagai yang utama.

Tuhan Yesus, ajarilah aku untuk berbahagia menjadi murid-Mu dan mau berbagi dengan orang-orang yang membutuhkan bantuan. Amin.

[Ziarah Batin 2008, Renungan dan Catatan harian]

Survey di Skotlandia: Satu dari 10 anak pergi ke gereja setiap minggu

05 September 2008 09:45

doa anak[Mirifica] Menurut survey sebuah gereja di Skotlandia, 10 persen dari murid sekolah dasar di sana pergi ke gereja setiap minggunya, sedangkan 1-3 orang anak dari interval umur 11-18 tahun pergi ke gereja setidaknya setahun sekali.

Hasil juga menunjukkan bahwa 27 % dari anak muda percaya kepada Tuhan, dan 43% mengatakan mereka percaya akan adanya surga.

Steve Mallon, seorang pendamping kaum muda di gereja skotlandia mengatakan bahwa hasil survey dari 2.221 murid tersebut dapat diterima.

Ia mengatakan bahwa penemuan survey ini memberikan potret menarik bagaimana perilaku kaum muda dalam beriman dan ide-ide tentang gereja dan kehidupan kristiani.

Sejumlah kaum muda mengatakan bahwa kepercayaan mereka akan Tuhan lebih tinggi nilainya daripada komentar apapun yang muncul. Sudah jelas, banyak kaum muda masih menghargai nilai dimensi religius dalam kehidupan.

Ronnie Convery, seorang jurubicara dari gereja Katolik mengatakan bahwa hal ini jelas menunjukkan bahwa kaum muda memiliki sensitifitas religi yang tak dapat dipadamkan oleh sebesar apapun sekularisasi.

Meskipun demikian, Werner Jeanrond, professor ilmu Ketuhanan di Glasgow university menyebutnya sebagai sebuah "penekanan"
Ia menambahkan "kita perlu melihat apa yang gereja lakukan untuk berkomunikasi dengan para kaum muda". Meski 10 persen anak-anak pergi ke gereja setiap minggu, tidak ada menggembirakan. Malahan ini sebuah gap yang terjadi antara kelompok 10 persen kaum muda yang pergi ke gereja setiap minggunya dan kelompok kaum muda yang antara 1-3 orang pergi kegereja setahun sekali. [Mirifica/R/2008 Diterjemahkan dari scotsman.com]

Dari : Berita Katolik