Satu aspek marjinalisasi ini adalah kekerasan dan diskriminasi yang dihadapi kaum perempuan Kristen, yang diperlihatkan dengan sikap intoleransi terhadap keterbukaan dan nilai-nilai modern, kata suster itu, dari Kongregasi Suster-Suster Cinta Kasih Yesus dan Maria (KYM). Sikap masyarakat yang diperlihatkan itu merupakan bagian dari "Talibanisasi" masyarakat Pakistan, katanya.
Lebih dari 95 persen dari 160 penduduk Pakistan adalah Muslim, sementara umat Kristiani berjumlah kurang dari 1 persen.
Suster Jamal, 50, telah mengajar selama 28 tahun di sekolah-sekolah Katolik seluruh negeri itu. Ia juga berperan sebagai koordinator kaum muda di Keuskupan Agung Lahore dan Keuskupan Faisalabad selama 25 tahun.
Berikut ini adalah komentarnya untuk UCA News:
Setelah pengumuman tahunan kelulusan siswa, saya pergi mengunjungi gadis-gadis kecil kelas dua untuk menyampaikan selamat kepada mereka atas keberhasilan mereka dalam ujian tahunan itu. Namun, saya merasa bahwa mereka tidak memancarkan kebahagiaan yang spontan seperti biasanya.
Sebelum saya mengatakan sesuatu, mereka menunjuk ke seorang gadis yang cukup baik kepribadiannya. Mata gadis itu menunjukkan rasa gelisah dan takut. "Seseorang telah membunuh saudarinya yang lebih tua. ... Kami tidak tahu siapa yang melakukan itu," kata seorang gadis. Saya bingung. Sebelum saya berbicara, seorang gadis lain mengatakan, "Suster, Anda tahu, sejumlah pencuri datang ke rumah kami di hari lain. Mereka menembak nenek kami. Ia meninggal. Seorang lain tak sabar menunggu dan menambahkan: "Suster, suster, seseorang menyiram air keras ke saudara ipar perempuanku. Ia kini dirawat di rumah sakit.
Kami semua hening untuk sementara, sambil menyelami ketidakberdayaan kami. Saya berdoa dengan mereka kepada Maria Bunda Kerahiman Ilahi untuk melindungi mereka dan keluarganya. Saya memberi mereka sejumlah nasehat praktis tentang bagaimana berhati-hati ketika berada di dalam maupun di luar rumah, bagaimana senantiasa sadar akan kehadiran Allah.
Ketika kembali ke biara, saya berpikir tentang saudariku yang paling tua, ibu dari lima putra, yang tinggal di Faisalabad. Ibu mertuanya dan tujuh saudara laki-laki dari suaminya, seorang pastor, tinggal di sebuah kota kecil terdekat. Satu dari saudara iparnya membuat seorang tuan tanah Muslim marah, karena dia jatuh cinta dengan putri tuan tanah itu. Sebagai balas dendam, tuan tanah itu berjanji membunuh seluruh keluarga. Satu-satunya cara untuk bisa selamat dari keadaan itu adalah masuk agama Islam dan hidup sebagai seorang Muslim. Karena tidak ada jalan keluar, maka keluarganya terpaksa menerima hal itu. Saudariku adalah satu-satunya perempuan yang tidak setuju akan hal itu. Secara terbuka dia mewartakan imannya akan Tuhan yang Bangkit. Negosiasi berlanjut beberapa kali, namun saudari saya tetap menolak menerima Islam. Dia akhirnya diracuni. Di saat terakhir, saudari saya mengucapkan imannya kepada Yesus yang dicintainya. Wajahnya sangat tenang ketika ia meninggal.
Menjadi perempuan, Kristen, dan profetis itu merupakan realitas-realitas yang saling berkaitan di sini. Menjadi perempuan, Kristen, atau profetis, konsekuensinya sama.
Youhanabad adalah basis umat Kristen di daerah pinggiran Lahore yang kebanyakan perempuan bekerja di pabrik-pabrik dan di rumah-rumah kaum Muslim yang kaya. Tentu saja mereka mendapat gaji yang minim, namun mereka juga sering diganggu, tidak merasa aman, dan mendapat perlakuan buruk. Kebanyakkan kasus ini tidak pernah dilaporkan.
Sering para remaja putri hilang atau diculik, diperkosa atau dibunuh di tempat ini. Kasus lain, air keras disiram ke wajah mereka. Tingkat penderitaan paling tinggi meskipun mereka bekerja keras adalah bahwa mereka memperoleh sangat sedikit untuk keamanan dan makanan bagi anak-anak mereka. Kenaikan harga kebutuhan pokok setiap hari -- tepung, beras, gula, susu - menjadi beban berat yang menganggu pikiran mereka. Meski tampaknya sehat dari luar, namun karena kurang gizi dan bekerja keras, mereka menjadi korban penyakit TBC, tifus, kudis, dan hepatitis.
Di antara berbagai kategori perempuan, religius wanita memiliki lebih banyak ruang untuk bernafas dan mendapat penghargaan dalam masyarakat. Yang sangat mempengaruhi para suster adalah penolakan Islam terhadap kaul kemurnian mereka. Menurut tradisi Islam, hal itu tidak dapat diterima karena itu bertentangan dengan rencana Tuhan bagi manusia.
Ancaman lain adalah Talibanisasi masyarakat yang sedang bertumbuh. Pikiran masyarakat sederhana yang baik dipengaruhi oleh kelompok-kelompok teroris. Bagi mereka, perempuan bukan manusia, hanyalah hal-hal kebutuhan harian untuk disembunyikan di kamar. Gerakan Taliban, antara lain, merusak semua yang mempromosikan kehidupan, cinta, keindahan, di kalangan bangsa. Sekitar 125 sekolah dibakar dan dibom oleh kaum militan beberapa tahun terakhir ini di distrik Swat dan Dir yang bergejolak, di Propinsi North West Frontier. Beberapa ditempati oleh para militan dan sejumlah lain oleh pasukan keamanan. Pemboman sekolah-sekolah putri dan surat-surat ancaman yang dikirim kepada mereka membuat para guru dan pelajar putri ketakutan sehingga jumlah murid berkurang 50 persen.
Di tengah situasi yang keras seperti itulah, kami wanita religius menunjukkan makna kehadiran kami yang lebih mendalam. Melawan skenario sosial politik kompleks dan terus berubah itu, kami terus menemukan kekuatan iman, makna karya amal kita, sinar pengharapan, serta kedalaman visi dan misi kami. Ini, karena kami percaya akan apa yang Yesus katakan: "Tanpa Aku kamu tidak bisa berbuat apa-apa ... namun bersama Aku semuanya mungkin."
Di sekolah, asrama, pekerjaan paroki, dan kunjungan-kunjungan keluarga, kami bertemu sesama perempuan,. Kami mendorong, membimbing, dan memberikan pencerahan kepada mereka. Kami berbagi dengan mereka karunia iman kami dalam kuasa kepenuhan dan belas kasih Allah. Kami berbagi visi keberlimpahan kami kepada mereka. Melalui pendidikan kami dan berbagai sarana pengajaran dan katekese, kami meningkatkan kemampuan mereka untuk belajar, memperoleh keyakinan dalam hidup. Dengan memberi keterampilan dan pengetahuan kepada mereka, kami membuat mereka mampu dan berdaya untuk menemukan tempat mereka yang tepat dalam masyarakat Pakistan. Hari berganti hari, kami menemukan keberhasilan dan kegagalan.
Seperti para nabi yang membiarkan Allah bertindak di dalam dan melalui kami, kami harus mendengarkan dan mengungkapkan Sabda yang diberikan Allah kepada kami. Dengan menjadi orang Gereja, kami harus terus berusaha untuk memenuhi peran kami untuk menjadi nabi di Pakistan. Dalam menghadapi tekanan agama yang keras dan terselubung, kami harus terus menemukan lebih banyak cara untuk "melakukan apapun yang Allah katakan kepada Anda."
Dari : www.ucanews.com - www.mirifica.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar